Indonesia
Umum

Untuk Pindah Ibu Kota, Tidak Boleh Sembarangan Menjual Lahan Negara

Kita patut memberikan acungan jempol bagi Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang berniat untuk memindahkan ibu kota tanpa membebani kantong negara. Setelah merencanakan akan memanfaatkan aset DKI Jakarta sebesar Rp. 150 triliun, sekarang ini Bapak Presiden memiliki rencana untuk menjual lahan disekitaran ibu kota baru nanti ke swasta. Luas lahan yang akan dijual sang Presiden kepada swasta sekitar 30 hektar (ha) dengan asumsi harga Rp. 2 juta hingga Rp. 3 juta per hektare (ha). Dari hasil penjualan lahan tersebut, akan adanya potensi pendapatan yang bisa masuk ke kantong pemerintah sebesar Rp. 600 triliun hingga Rp. 900 triliun.

Tetapi pemerintah akan memberikan syarat supaya tidak adanya celah swasta menimbun tanah untuk kepentingan bisnis mereka. Salah satu syaratnya adalah dalam waktu 2 tahun ini tanah yang dibeli oleh pihak swasta tersebut harus segera dilaksanakan. Dengan begitu nantinya tidak akan ada lahan yang menganggur setelah dibeli swasta. Skema tersebut merupakan alternatif pembiayaan yang nantinya akan dikaji oleh badan otorita yang akan mengurusi itu semua.

Tetapi Nurhasan Ismail selaku Pakar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada mengingatkan bapak Presiden untuk mengkaji secara hati hati keinginannya itu. Terlebih lagi yang berkaitan dengan aspek legalitas lahan milik negara. Jika mengacu kepada Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, secara garis besar adanya dua makna tanah ataupun lahan milik negara.

Kalimantan Timur jadi Ibu Kota Baru Indonesia
Kalimantan Timur jadi Ibu Kota Baru Indonesia

Pertama, tanah yang memang dikuasai oleh negara secara langsung dan belum adanya hak atas tanah tersebut oleh siapapun. Kedua, tanah yang memang dimilki oleh instansi pemerintah dengan adanya hak atas tanah tertentu yaitu Hak Pakai Selama Digunakan atau Hak Pengelolaan. Hanya saja Nurhasan mengatakan jika kedua jenis lahan tersebut tidak boleh seenaknya dijual begitu saja. Dan bahkan adanya ketentuan untuk jenis lahan negara yang kedua yang sudah jelas tercantum didalam UU pokok Agraria. Pemerintah hanya memberikan Hak Pengelolaan seperti Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai untuk jangka waktu tertentu saja.

Jika begitu sudah sangat jelas menurut hukum agraria, lahan negara tersebut tidak boleh dijual kepada siapapun baik pihak swasta atau perseorangan atau pihak yang lainnya. Tetapi jika nanti adanya perjanjian jual beli atas lahan negara, maka harus dibatalkannya secara otomatis penjualan lahan tersebut atas dasar alasan hukum. Ini berarti akan menjadi sia sianya keinginan Jokowi tersebut. Pastinya pihak swasta juga tidak akan mengambil lahan jika calon lahan yang akan dibelinya itu tidak memiliki kepastian status. Nurhasan menerangkan, konsekuensinya tidak akan adanya pihak yang mau membeli lahan negara tersebut, karena mereka tidak akan bisa memilikinya. Oleh karena itu pemerintah harus mendefinisikan secara pasti maksud lahan negara yang akan dijualnya kepada pihak swasta. Terlebih lagi pemerintah tidak boleh sembarangan menabrak ketentuan tersebut apapun alasannya. Nurhasan menambahkan jika ketentuan menjual lahan negara tersebut secara hukum prinsipnya itu tidak boleh dilanggar atau harus dipatuhi oleh siapapun.

Trubus Rahadiansyah selaku pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti juga menganggap jika wacana penjualan lahan milik negara terkait berita seputar ibu kota baru tersebut tidaklah tepat. Pasalnya jika hal tersebut dilakukan maka akan melanggar aturan yang telah ada. Jika dilihat dari sisi pengambilan kebijakan publik, wacana jual lahan miliki negara tersebut justru terkesan mencurigakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.